Ramainya Pelanggaran Tindak Pidana Korupsi " Pengacara Kondang RM. Tito Hananta Kusuma,S.H.,MM Angkat Bicara
Ramainya Pelanggaran Tindak Pidana Korupsi " Pengacara Kondang RM. Tito Hananta Kusuma,S.H.,MM Angkat Bicara
Jakarta - Merasa prihatin terhadap kondisi / nasib bangsa yang saat ini rentan karena digerogoti oleh para Koruptor Nakal Pemakan Uang Rakyat ,RM. Tito Hananta Kusuma , S.H.,MM selaku Managing Partner THK & Co, Founder Forum Advokat Spesialis Tipikor angkat bicara.
Dimana dikatakan oleh Louwyer muda yang namanya tak asing di kalangan para Artis ini menjelaskan bahwa Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu Tindak Pidana yang Spesifik ,Khusus dan Unik serta berbeda dengan Tindak Pidana Lainnya sebagaimana disebutkan dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo dan Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu adapun skema Tipikor seperti yang kita ketahui bersama adalah :
A. DELIK KERUGIAN NEGARA
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal ini pada intinya mengartikan bahwa perbuatan menambah kekayaan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara-cara melawan hukum yang mengakibatkan perekonomian negara rugi atau berkurang kekayaannya dapat dipidana.
Kerugian tersebut dapat dibuktikan dengan adanya audit BPK.
Adapun perbuatan korupsi yang dapat dikenakan pidana mati adalah korupsi disaat negara dalam keadaan bahaya, bencana alam, krisis moneter, ataupun terjadi pengulangan tindak pidana.
Pasal 3
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
” Pasal ini merupakan ketentuan yang lebih spesifik dari pasal sebelumnya karena menjerat pegawa negeri sipil dan penyelenggara negara yang melakukan pebuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara.
Pasal 4
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
(3) " Pasal ini memberikan pengertian bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.
Namun, hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang meringankan hukuman bagi terdakwa saat hakim menjatuhkan putusan.
Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menghapus kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara” berdampak positif bagi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi karena memberikan Kepastian Hukum bagi Para Tersangka perkara ini, karena dalam prakteknya seringkali Penyidik (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian) telah menetapkan adanya Tersangka Perkara Tipikor berdasarkan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, sebelum adanya Hasil Audit Kerugian Negara yang dilakukan oleh BPK atau BPKP.
Penetapan Tersangka sebelum adanya Hasil Audit Kerugian Negara membuat pihak Auditor berada dalam posisi dilematis, jika Auditor menyatakan Tidak Ada Kerugian Negara maka Tersangka akan Bebas dan hubungan kelembagaan antara pihak Auditor dengan Lembaga Penyidik menjadi terganggu, bahkan patut diduga adanya Rasa Ewuh Pakewuh dalam kondisi yang demikian.
Sehingga seringkali pihak Auditor memaksakan adanya Unsur Kerugian Negara dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi yang demikian. Hal ini tentunya akan merugikan aspek Hak Azasi Manusia dari pihak yang dijadikan Tersangka.
Berikut Modus & Solusi Penanganannya
B. DELIK PENYUAPAN
Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 yang mengacu pada KUHP serta Pasal 13 merupakan dasar bagi istilah suap dan gratifikasi.
Gratifikasi memiliki arti yang lebih luas jika dibandingkan dengan suap.
Terdapat beberapa perbedaan penting yang menyangkut kedua istilah tersebut.
Definisi mengenai suap secara eksplisit tidak terdapat dalam UU Tipikor namun terdapat pada UU No 3 Tahun 1980 Pasal 3 yang menyebutkan bahwa
“Barangsiapa menerima sesuatu atau janji sedanga ia tahu atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).”
Sedangkan definisi gratiikasi menurut UU Tipikor Pasal 12B(1) adalah
“Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.”
Adapun beberapa bentuk umum mengenai gratifikasi yaitu pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, pada saat perkawinan anak dari pejabat tersebut, pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-Cuma, pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan pemberian souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja, serta pemberian uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.
Bahwa pada prinsipnya pasal-pasal dalam UU Tipikor yang mengatur mengenai Penyuapan dan Gratifikasi terdapat DUPLIKASI.
Hal ini dapat terlihat dari beberapa pasal dalam UU Tipikor yang memiliki kesamaan arti contohnya Pasal 12 huruf a dan b merupakan duplikasi dari Pasal 5 ayat 2 sedangkan Pasal 11 merupakan duplikasi dari Pasal 13 UU Tipikor. Didalam penerapan hukum adanya pasal suatu tindak pidana yang ada hubungannya dengan pasal lain dikenal dengan istilah pasal berpasangan.
1. Dalam konteks ini, jika pasal yang dipakai oleh Penegak Hukum adalah Pasal 5 ayat 1 Huruf a atau huruf b, artinya pasangannya adalah Pasal 5 ayat
2. Jika ada pasal 12 huruf a dan b, maka terjadi adanya duplikasi.
Seharusnya pertimbangan Penegak Hukum dalam menerapkan suatu Pasal tidak digunakan hanya sebagai alasan untuk memperberat ancaman sanksi pidana saja, namun lebih kepada penegakkan hukumnya.
Adapun pada praktiknya terdapat ketimpangan dalam penerapan Pasal UU Tipikor bagi Pemberi Suap dan Penerima Suap.
Pasal yang saling tumpang tindih menimbulkan gejolak dalam penegakkan hukum di Indonesia.
Pemberi suap biasanya dikenakan Pasal 5 ayat 1 oleh KPK, sedangkan Penerima Suap dikenakan Pasal yang sanksinya lebih berat yakni Pasal 12a dengan ancaman maksimal penjara seumur hidup.
Seperti diketahui bersama bahwa Penyuapan terjadi karena adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang dilakukan secara bersama-sama, setiap warga negara pun harus diperlakukan secara adil serta mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum
Bicara mengenai Gratifikasi dan Penyuapan, terdapat perbedaan yang sangat mendasar yaitu terletak pada ada atau tidaknya kesepakatan/deal untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Dalam hal ini Gratifikasi mempunyai arti yang luas dan bukan janji. Jika melihat pada ketentuan dalam UU Tipikor dalam suap ada unsur “mengetahui atau patut dapat menduga” sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun keputusannya.
Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
PENCEGAHAN:
Dapat dilihat dari jenisnya, pertama mengenai Kerugian Negara, maka harus di terapkan Manajemen Resiko yaitu mencegah suatu Kerugian Negara yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum seperti KPK, Kejaksaan & Kepolisan harus Proaktif melakukan Pencegahan Korupsi misalnya dengan melakukan audit sebelum melakukan suatu transaksi atau satu tender yang dilakukan antara Pemegang Tender dan Pemerintah dengan tujuan meminimalisir Tindak Pidana Korupsi kedua mengenai Penyuapan, hal yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi Jangka Waktu Perizinan Maksimal 1 Bulan sudah keluar Keputusan apakah Permohonan tersebut diterima atau ditolak sehingga terciptanya Kepastian Hukum bagi Masyarakat dan celah terjadinya Penyuapan dapat diminimalisir.
PENANGANAN:
Penanganan Tindak Pidana Korupsi membutuhkan advokat-advokat yg memahami dengan baik tentang Tindak Pidana Korupsi itu sendiri.
Berdasarkan Survei yang kami ambil membuktikan bahwa Pengacara yang memahami bidang Tindak Pidana Korupsi tidak lebih dari 20% dari seluruh Pengacara di Indonesia.
Korupsi merupakan tindak kejahatan yang unik yang membutuhan keahlian dan pengalaman didalam menanganinya karena terdapat persoalan yang pelik di dalam praktek persidangan dan penuh dengan dinamika.
PEMASYARAKATAN :
Artinya Terdakwa Korupsi yang telah menjadi Terpidana harus masuk ke Lembaga Permasyarakatan yang di pimpin oleh Dirjen Pemasyarakatan pada Kementrian Hukum dan HAM.
Dalam hal ini Narapidana akan menjalani kehidupan di dalam Lapas selama sekian tahun sesuai dengan Putusan Pengadilan.
Berdasarkan Pengalaman yang dialami, sebagian besar Pelaku Tindak Pidana Korupsi merasa menyesal dan mengganti Kerugian Negara dengan membayar denda dengan jumlah yang tidak sedikit. Bahwa tidak ada yang bias menjamin Uang Ganti Rugi yang masuk ke dalam APBN tidak kembali di Korupsi oleh Oknum-oknum lainnya, sehingga dengan demikian sebaiknya Pemerintah, DPR, Praktisi Hukum, LSM dan Universitas duduk bersama untuk merumuskan bagaimana mekanisme Pemasyarakatan yang baik dan adil bagi Terpidana Korupsi . ( By RM. Tito Hananta Kusuma,S.H.,MM )
Penulis : Ali
Komentar
Posting Komentar